Sejarah Kemahasiswaan ITB
Masa Awal (1920 – 1950)
Sejarah kemahasiswaan ITB memiliki akar yang panjang jika kita
merunut pada masa berdirinya sebuah perguruan tinggi milik swasta, Technische
Hoogeschool te Bandoeng, tahun 1920. Saat itu para studenten TH
Bandung mengorganisir dirinya dalam sebuah wadah bernama Bandoeng
Studenten Corps (BSC) atauCorpus Studiosorum Bandungense (CSB),
organisasi kemahasiswaan tertua di Indonesia. Mahasiswa pribumi mengorganisir
dirinya dalam wadah tersendiri,Indische Studenten Vereniging (ISV),
karena merasa aspirasinya tidak tersalurkan di organisasi BSC. ISV ini memiliki
banyak kegiatan seperti akademik, olahraga, kesenian, sampai diskusi politik.
Pada masa awal berdirinya TH Bandoeng inilah, seorang mahasiswa
dari Surabaya bernama Raden Soekarno berkuliah di TH Bandoeng tahun 1922,
bersama kaum pribumi lainnya seperti Anwari dan Rooseno. Tak lama setelah
Soekarno lulus tahun 1926, dia mendirikan partai politik beraliran kebangsaan,
Partai Nasional Indonesia di tahun 1927.
Tidak banyak yang berkembang ketika TH Bandoeng berubah nama
menjadiInstitute of Tropical Sciences (1940) dan Bandung Kogyo
Daigaku (1944). Namun ketika Indonesia merdeka tahun 1945, warga Bandoeng Kogyo
Daigaku yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Teknik Bandoeng
(1945) banyak yang mengorbankan jiwa dan raganya demi kemerdekaan Indonesia. Nama-nama
warga STT Bandoeng yang gugur tertera di Tugu Ganesha.
Pada masa ini pula berdiri organisasi Senat Mahasiswa Fakultas
Teknik Bandung (1945). Tidak banyak yang tercatat mengenai organisasi ini
kecuali bersama-sama staf pengajar yang berkebangsaan Indonesia, memindahkan
seluruh kegiatan akademik ke Yogyakarta untuk mendirikan Sekolah Tinggi Teknik
di Yogyakarta yang kemudian menjadi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada,
dengan dekannya yang pertama Ir. Rooseno.
Ketika Belanda mendirikan Nood Universiteit yang
berkembang menjadiUniversiteit van Indonesie, kampus STT Bandoeng
dijadikan Faculteit van Technische Wetenschap (Fakultas Ilmu
Teknik) dan Faculteit van Exacte Wetenschap (Fakultas
Ilmu Pasti). Setelah terjadi gelombang kembalinya beberapa mahasiswa dan staf
pengajar Indonesia, berdiri beberapa organisasi kemahasiswaan seperti Keluarga
Mahasiswa Seni Rupa (1947), dan Himpunan Mahasiswa Bangunan Mesin dan Listrik
(1948).
Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)
Pada tahun 1950, berdirilah organisasi Dewan Mahasiswa Universitas
Gadjah Mada dan Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Kebetulan di Bandung,
berdiri juga Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia Bandung. Pada dekade 1950-an
telah terjadi arus politisasi mahasiswa di mana banyak partai politik yang
mendirikan organisasi kemahasiswaan untuk menggaet kekuatan dari kampus seperti
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), bagian dari PNI, Consentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) bagian dari PKI, dan Gerakan Mahasiswa
Sosialis (Gemsos) bagian dari Partai Sosialis Indonesia.
Untuk itu banyak pemimpin organisasi kemahasiswaan kampus seperti
Emil Salim (UI) dan Koesnadi Hardjasomantri (UGM) memutuskan pentingnya
melegalkan organisasi Dewan Mahasiswa di kampus UI dan UGM. Organisasi
kemahasiswaan kampus bertujuan memenuhi kebutuhan mahasiswa dalam bidang
pendidikan, kesejahteraan dan aktualisasi diri, bukan pada persoalan politik
praktis. Pada tahun 1955, Dewan Mahasiswa UI Jakarta dan UI Bandung disatukan
di bawah kepemimpinan Emil Salim.
Emil Salim sebagai Ketua Dewan Mahasiswa UI dan Koesnadi
Hardjasoemantri sebagai Ketua Dewan Mahasiswa UGM memprakarsai apa yang disebut
Kuliah Kerja Nyata, di mana saat libur, mahasiswa berkewajiban untuk memberikan
penerangan mengenai ilmu-ilmu kepada anak-anak pelajar agar mereka tergerak
melanjutkan sekolahnya ke jenjang pendidikan tinggi. Terbukti KKN ini kemudian
menyebabkan meledaknya jumlah mahasiswa dari hanya sekitar 50.000 orang di
tahun 1950-an menjadi 300.000 orang di tahun 1963.
Untuk memperkuat koordinasi antar organisasi kemahasiswaan kampus,
pada tahun 1957 berdirilah Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI) yang
dideklarasikan di Aula Barat Fakultas Teknik UI Bandung. Organisasi ini menjadi
wadah kedua organisasi kemahasiswaan nasional setelah di tahun 1947 berdiri
Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). PPMI sempat mengadakan
Konferensi Mahasiswa Asia Afrika (1957) yang dimotori oleh Imaduddin Abdulrahim
dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Soedjana Sapiie dari Perhimpunan
Mahasiswa Bandung (PMB).
Tahun 1957 inilah awal tarik-menarik antar organisasi
kemahasiswaan intrakampus (MMI) dengan organisasi kemahasiswaan ekstrakampus
(PPMI). Ditambah lagi setelah Presiden Soekarno mendekritkan pembubaran
Konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 1945, 5 Juli 1959. Namun sebelum
dekrit, rencana Presiden untuk mendirikan sebuah pusat pengembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni diwujudkan dengan memisahkan Fakultas Teknik
dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam UI Bandung menjadi Institut Teknologi Bandung,
2 Maret 1959.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Dengan berpisahnya UI Djakarta dan UI Bandung dan UI Bandung
menjadi ITB, maka beberapa tokoh mahasiswa seperti Piet Corputty (Teknik Sipil)
dan Udaya Hadibroto (Teknik Pertambangan) menggulirkan isu berdirinya Dewan
Mahasiswa. Usulan ini disepakati oleh himpunan-himpunan mahasiswa di Senat
Mahasiswa Teknik, Ilmu Pasti dan Ilmu Alam, serta Ilmu Kimia dan Ilmu Hayati.
Pada tanggal 20 November 1960, ketiga Senat Mahasiswa tersebut melebur menjadi
Dewan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (DM ITB) dengan Ketua Umumnya yang
pertama Piet Corputty dan Udaya Hadibroto sebagai Wakil Ketua Umum.
Dewan Mahasiswa adalah organisasi kemahasiswaan kampus yang
berprinsip Pemerintahan Mahasiswa dengan Sidang Dewan Mahasiswa sebagai
wakil-wakil Himpunan Mahasiswa dan badan legislatif, serta Badan Pengurus
sebagai badan eksekutif. Ketua Umum Badan Pengurus dipilih oleh Anggota Sidang
Dewan Mahasiswa dan bertanggung jawab kepada Sidang Dewan Mahasiswa.
Pekerjaan besar DM ITB yang pertama adalah bagaimana agar ITB
tidak dilebur ke dalam Universitas Padjadjaran menjadi Fakultas Teknik dan
Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam UNPAD. Pekerjaan ini cukup memakan waktu dan
tenaga, bahkan jabatan. Saat Udaya Hadibroto menjabat sebagai Ketua Umum
(1962-1963), DM ITB memobilisasi ratusan mahasiswa untuk mengikuti Tri Komando
Rakyat demi membebaskan Irian Barat.
Tanggal 10 Mei 1963, terjadi huru-hara besar di Bandung akibat
perkelahian antara mahasiswa pribumi dan Cina. Peristiwa 10 Mei ini melibatkan
beberapa tokoh mahasiswa seperti Muslimin Nasution (MS’58) dan Siswono
Yudhohusodo (SI’61). Keduanya dijatuhi hukuman penjara 3 sampai 4 tahun. Namun
Muslimin Nasution berhasil menjadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa dibantu Adi
Sasono (SI’58) sebagai Sekretaris Umum. Dukungan yang besar kepada Muslimin
Nasution menyebabkan Dewan Mahasiswa tidak goyah karena ketuanya dipenjara.
Pada periode ini pula, ITB terkena apa yang disebut Serangan GMNI.
Poros mahasiswa kiri GMNI-CGMI-Germindo-Perhimi bersatu menuntut turunnya
Muslimin Nasution, dan meminta agar pimpinan Dewan Mahasiswa dibersihkan dari
unsur-unsur kontrarevolusioner, anti Manipol-USDEK, dan anti kemajuan. Muncul
peristiwa pembakaran patung tokoh mahasiswa, serangan selebaran gelap,
demonstrasi untuk menghentikan pemutaran film Barat oleh LFM, dan lain-lain.
Pada tahun 1964, Konferensi MMI IV di Malino, Sulawesi Selatan, DM
UI, ITB dan UNPAD dikeluarkan dari kepengurusan MMI. Permusuhan antara
mahasiswa kanan dan kiri semakin menguat. Munculnya Gerakan 30 September di
Jakarta menyebabkan runtuhnya kekuatan mahasiswa sayap kiri di ITB. Ketua Umum
DM ITB Rahmat Witoelar bersama Rektor Kolonel Ir. Kuntoadji mendirikan Komite
Aksi Pembersihan ITB (KAPI) untuk membersihkan kampus dari unsur-unsur kiri
khususnya dosen dan mahasiswa pro-komunis.
Aksi-aksi mahasiswa angkatan’66 mulai bergulir di Jakarta dan
Bandung. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) terbentuk di berbagai kota
dan kampus. Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yaitu: 1. Bubarkan PKI, 2. Turunkan
Harga, 3. Retool Kabinet Dwikora. Aksi-aksi yang semula berjalan damai mulai
meningkat menjadi bentrokan antara KAMI dan Barisan Soekarno yang terdiri dari
mahasiswa GMNI Pro-Soekarno. Terbunuhnya Arief Rahman Hakim, mahasiswa
Kedokteran UI, oleh Cakrabirawa tanggal 24 Februari 1966 memunculkan inisiatif
DM ITB dan KAMI Bandung untuk mengirimkan Satuan Tugas berjumlah 200 Mahasiswa
ke Jakarta. Dipimpin Muslimin Nasution, Deddy Krishna, Fred Hehuat, Adi Sasono,
Arifin Panigoro, dan Rudianto Ramelan. Patung Menlu RI H. Soebandrio yang
dibuat anak-anak SR ITB menjadi trademark aksi-aksi mahasiswa Bandung di
Jakarta.
Surat Perintah 11 Maret 1966 mengakhiri aksi Tritura. DM ITB
kembali ke Bandung. Pada bulan Oktober 1966, diadakan Musyawarah Kerja pertama
untuk memperbaiki organisasi kemahasiswaan ITB. Terbentuk Keluarga Mahasiswa
ITB sebagai penyempurnaan Dewan Mahasiswa, Majelis Permusyawaratan Mahasiswa
(MPM) sebagai badan legislatif yang berisi wakil himpunan mahasiswa jurusan,
dan Badan Pertimbangan Mahasiswa (BPM) sebagai perwakilan organisasi kemahasiswaan
ekstra kampus seperti HMI, PMB, GMNI, PMII, dan lain-lain.
Dibawah kepemimpinan Purwoto Handoko (1967-1968), Sarwono
Kusumaatmadja (1968-1969), Wimar Witoelar (1969-1970) dan Syarif Tando
(1970-1971), DM ITB menggulirkan isu back to campus untuk
mengakhiri politisasi kampus sejak zaman Orde Lama. Kampus dikembalikan pada
fungsinya sebagai wahana pembelajaran dan penerapan Tridharma Perguruan Tinggi.
Wakil-wakil mahasiswa di DPR-GR ditarik dan dikelompokkan dalam partai-partai
peserta Pemilu 1971.
Dekade 70-an
Terbentuk unit-unit kegiatan mahasiswa Olahraga dan Kesenian.
Unit-unit Olahraga dikoordinasikan oleh Departemen Olahraga dan Unit-unit
Kesenian dikoordinasikan oleh Departemen Kesenian. DM ITB sempat mengadakan
event nasional seperti Ganesha Intervasity Games, pertandingan olahraga antar
kampus Indonesia. Bahkan event regional seperti Konferensi Mahasiswa Asia
Tenggara (ASEAUS). Menurunnya minat mahasiswa untuk bergabung di organisasi
ekstra kampus memunculkan inisiatif empat mahasiswa yaitu Wimar Witoelar
(EL’63), Sarwono Kusumaatmadja (SI’61), Bahder Munir (TK’63), dan Soeparno
Satira (FI’63) untuk mendirikan Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK)
sebagai think-tank kampus. Berdirinya PSIK menyebabkan unit-unit pendidikan
lain berdiri sebagai wahana pembelajaran selain di kelas-kelas.
Tidak hanya kegiatan besar yang dilakukan Dewan Mahasiswa, Syarif
Tando juga menginisiasi pendirian Student Centre, BNI Unit ITB,
Toko Kesejahteraan Mahasiswa, PT Pos Unit ITB, asrama dan lain-lain. Maraknya
kegiatan kemahasiswaan kembali mengarah kepada politik nasional saat terjadi
peristiwa 6 Oktober 1970. Renee Louis Conraad (EL’70) terbunuh di Gerbang
Ganesha oleh taruna Akademi Kepolisian angkatan 1970. Peristiwa ini terjadi
setelah tawuran antara mahasiswa dan taruna Akpol setelah pertandingan
sepakbola di ITB.
Gerakan Mahasiswa bergulir kembali untuk menjadi kekuatan kontrol
sosial terhadap Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto.
Menguatnya militer, makin korupnya pemerintahan, pemborosan uang negara dalam
pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, dan kesenjangan sosial mulai dikritisi
oleh mahasiswa. Isu kesenjangan sosial ini meledak di Bandung dalam peristiwa 5
Agustus 1973, kerusuhan berbau rasial. DM ITB yang dipimpin Muslim Tampubolon
dan mulai membangun aliansi gerakan bersama DM UNPAD yang dipimpin Hatta
Albanik, DM Unpar yang dipimpin Budiono Kusumohamidjojo, dan DM UI yang
dipimpin Hariman Siregar untuk mengkritik akar permasalahan bangsa. Mereka
menyepakati bahwa masuknya modal asing, korupsi, dan terlalu kuatnya militer
adalah penyebab semua ini.
Pada tanggal 11 Januari 1974, 35 Dewan Mahasiswa se-Indonesia
berkumpul di Bina Graha untuk berdialog dengan Presiden Soeharto menuntut
perbaikan kebijakan dan pelaksaanaan pemerintahan. Dialog ini akan
ditindaklanjuti dalam sebuah aksi demonstrasi besar-besaran di Jakarta
menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka. Demonstrasi
menyambut kedatangan PM Jepang ini malah bergulir menjadi aksi kerusuhan yang
dikenal dengan nama Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari). Mahasiswa Bandung
tidak ikut dalam demonstrasi ini, namun tetap mengadakan aksi demonstrasi di
Bandung menggulirkan isu Tritura 1974: 1. Bubarkan Asisten Pribadi Presiden, 2.
Turunkan Harga, 3. Tolak Modal Asing.
Ditangkap dan dipenjarakannya aktivis UI seperti Hariman Siregar,
Judil Herry Justam, Theo L. Sambuaga, Syahrir, Dorodjatoen Kuntjoro-Jakti, dan
Prof. Sarbini Soemawinata menyebabkan mahasiswa dilarang berdemonstrasi.
Mulailah kampus direpresi dan diskusi mahasiswa dimata-matai oleh intelijen.
Konsolidasi organisasi kemahasiswaan ITB mencapai dua tahun (1974-1976), saat
kepegurusan Prasetyo Sunaryo (TK’70) dan Daryatmo (TA’70).
Dewan Mahasiswa ITB kembali menggulirkan Gerakan Anti Kebodohan
(GAK) saat kepengurusan Kemal Taruc (PL’71) dan Irzadi Mirwan (GL’73), tahun
1976-1977. GAK adalah konsep gerakan mendasar tentang pengentasan kemiskinan
dan kebodohan dimana DM ITB menuntut direalisasikannya anggaran pendidikan dan
wajib belajar 6 tahun, apalagi saat itu jumlah yang tidak bersekolah mencapai 8
juta anak. Saat Pemilu 1977, DM ITB, UI dan IPB mendirikan Dewan Perwakilan
Rakyat Sementara (DPRS) di Bogor sebagai dagelan politik. Hal ini dipicu oleh
pernyataan sikap DPRD Jawa Barat yang menyepakati Soeharto kembali menjadi
Presiden RI. Aktivis DPRS seperti Al Hilal Hamdi dan Ramles Manampang Silalahi
(DM ITB), Farid Faqih (DM IPB), dan Bram Zakir (DM UI) ditangkap dan ditahan
sementara.
DM ITB tidak hanya menuntut pemerintah untuk memperhatikan
pendidikan, tetapi juga berkontribusi dengan membentuk Lembaga Bantuan
Teknologi (LBT) yang bertugas membantu masyarakat dengan kontribusi berbasis
potensi sains dan teknologi mahasiswa ITB. DM ITB juga mendirikan Balai
Kesehatan Medika Ganesha, klinik murah untuk mahasiswa dan masyarakat.
68 Dewan/Senat Mahasiswa se-Indonesia berkumpul di ITB, 27-28
Oktober 1977 untuk menyatakan sikap keprihatinan atas kondisi politik, hukum,
ekonomi dan sosial budaya di Indonesia. Indonesia sedang mengarah pada
kediktatoran militer. Aksi 10.000 mahasiswa dan pelajar Bandung pada hari
Sumpah Pemuda dihadang oleh militer, namun tidak memunculkan bentrokan.
Saat DM ITB dipimpin oleh Heri Akhmadi (TA’72), Rizal Ramli
(FI’73), dan Indro Tjahjono (AR’73), Keluarga Mahasiswa ITB menyusun Buku Putih
Perjuangan Mahasiswa 1978. Buku Putih diluncurkan pada aksi mahasiswa ITB, 16
Januari 1978 di lapangan basket dan dihadiri 2000 mahasiswa. Aksi ini diakhiri
dengan pernyataan sikap “Tidak Mempercayai dan Tidak Menghendaki Soeharto
Kembali Menjadi Presiden RI, KM ITB”. Spanduk bertuliskan pernyataan mahasiswa
ini dipasang di depan Gerbang Ganesha.
Akibatnya kampus ITB diserbu dua kali, tanggal 21 Januari oleh
Kodam Siliwangi, dan tanggal 9 Februari oleh Brigade Lintas Udara 18 Kostrad.
Kampus diduduki 6 bulan lamanya, mahasiswa lama diusir, dan hanya mahasiswa
angkatan ’78 yang boleh berkuliah di ITB. Tokoh-tokoh mahasiswa ditangkap dan
dipenjara 6 bulan. Perubahan kalender akademik dari Januari-Desember menjadi
Juni-Juli. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef menetapkan kebijakan
Normalisasi Kehidupan Kampus untuk meredefinisi peran, fungsi dan posisi kampus
secara mendasar, fungsional dan bertahap.
Kampus dan warga kampus dilihat sebagai bagian dari jaringan
teknostruktur pembangunan dan harus berpartisipasi dalam pembangunan. Kontrol
Sosial Universitas tidak dapat dilakukan karena kampus tidak boleh berpolitik
praktis. Untuk berpolitik cukup masuk ke dalam partai politik. Untuk
mengendalikan kegiatan kemahasiswaan, maka Dewan Mahasiswa di seluruh Indonesia
dibubarkan oleh Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo dan dinyatakan ilegal.
Pada tahun 1979, dibentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) yang diketuai
Pembantu Rektor Kemahasiswaan. Kepengurusan Unit Kegiatan Mahasiswa, Senat
Mahasiswa Fakultas dan Himpunan Mahasiswa Jurusan dibimbing dan bertanggung
jawab kepada pembimbing unit, Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan, dan Tim
Pembimbing Kemahasiswaan Jurusan.
Kebijakan yang dikenal sebagai NKK-BKK 1978 ini dijadikan wahana
pergerakan mahasiswa ITB. DM ITB 1979-1980 dibawah pimpinan Aussie Gautama
(GL’74), Lilik Asudirahardjo (MS’74), Samsoe Basarudin (EL’75), SB Irawan
(GD’74), dan Iwan Basri (GD’76). Saat itu tahun akademik baru 1979 sudah
berjalan dan mahasiswa lama sudah boleh berkuliah. Namun karena berbagai
insiden, banyak pengurus Dewan Mahasiswa yang diskorsing, DO, ditangkap,
ditahan dan dipenjarakan. Kepengurusan Iwan Basri yang berjalan selama
1980-1981 juga tidak banyak bisa bertahan. Akhirnya pada tahun 1982, 22 Ketua
Himpunan dan 44 Ketua Unit Kegiatan menyatakan pembubaran Dewan Mahasiswa.
Walaupun ilegal, DM ITB selama tahun 1978-1982 tetap dapat
melakukan program penting seperti penanggulangan bencana alam, advokasi
karyawan Garuda, pembangunan Rumah Belajar untuk masyarakat, dan juga
pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro.
Dekade 80-an
Pada tahun 1982, terbentuk Forum Ketua Himpunan Jurusan (FKHJ) dan
Badan Koordinasi Satuan Kegiatan (BKSK) yang tetap mengkoordinasikan kegiatan
kemahasiswaan terpusat ITB. Kuatnya represifitas birokrasi kampus terhadap
kegiatan kemahasiswaan menyebabkan munculnya kelompok-kelompok studi. Kegiatan
kemahasiswaan mengarah pada studi mendalam mengenai ideologi, politik, hukum,
ekonomi, sosial dan budaya, apalagi setelah aliran filsafat posmodernisme masuk
ke Indonesia.
Kegiatan kemahasiswaan tidak dapat dikatakan mati. Tokoh-tokoh
mahasiswa seperti Umar Djuoro, Amir Sambodo, Hendardi, dan Syafrudin Tumenggung
tetap mempertahankan ruh kemahasiswaan. Muncul event seperti AMISCA Cup, HMS
Cup, HMT Cup dan HIMAFI Cup atau Ganesha Football League agar persatuan
mahasiswa ITB tetap terjaga.
Gerakan Mahasiswa ITB mulai bergulir saat FKHJ 1985-1986 dipimpin
oleh Pramono Anung (TA’82) dan Justiani (IF’82). Demonstrasi menyambut
kedatangan PM Inggris Margareth Thatcher dan Presiden Perancis Francois
Mitterand. Jatuhnya pemerintahan Marcos di Filipina tahun 1986 juga mempercepat
gerakan mahasiswa ITB. Mulai tahun 1987-1989, muncul tokoh mahasiswa seperti
Fadjroel Rachman (KI’82), Syahganda (GD’84), Enin Supriyanto (SR’84), Ondos
Koekeritz (SR’84), Hotasi Nababan (SI’84), Lendo Novo (TM’84) dari ITB, serta
Ferry Juliantono dari UNPAD yang mendirikan Badan Koordinasi Mahasiswa Bandung
(BKMB) dan Komite Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat (KSMR). BKMB dan KSMR
mengadakan advokasi dan aksi demonstrasi atas kasus penggusuran tanah di
Kacapiring, Cimacan, dan Badega.
Pada tanggal 5 Agustus 1989, kedatangan Menteri Dalam Negeri
Jenderal Rudini ke kampus ITB untuk memberikan penataran P-4 kepada mahasiswa
baru angkatan 1989 disambut dengan demonstrasi pembakaran ban, pelemparan telur
kepada Jenderal Rudini, dan usaha pengusiran. Akibat demonstrasi ini, Fadjroel
Rachman, Jumhur Hidayat, Enin Supriyanto, Ammarsyah dan Arnold Purba dipenjara
selama 3 tahun di Nusakambangan.
Dekade 90-an
Kemahasiswaan ITB mulai mendapat momentumnya saat Sekjen FKHJ
Duddy Sona Lesmana (PL’89) diskorsing tahun 1991. Kompromi mahasiswa dan
rektorat saat mengadakan Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa (OSKM) 1992 dan
1994 yang dilegalkan oleh Rektor Prof. Wiranto Arismunandar. Sempat terjadi
kasus skorsing Yos Alfa (FT’90) dan Muhammad Melyana (FT’90), Ketua Umum HMFT
1993-1994 dan Ketua Mabin HMFT 1993, yang menyebabkan aksi pengunduran diri
Deny (SI’88) sebagai bentuk protes atas represifitas birokrasi kampus. Aksi ini
didukung oleh ribuan mahasiswa ITB dan juga mahasiswa kampus lain yang sedang
mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) di ITB.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Fuad Hasan mewajibkan
berdirinya Senat Mahasiswa Peguruan Tinggi (SMPT) tahun 1990, mengakhiri era
NKK-BKK. Mahasiswa UI, IPB, UNPAD, UGM, ITS dan UNAIR menerima konsep ini.
Namun hasil referendum mahasiswa ITB tahun 1993 menghasilkan penolakan SMPT dan
menyatakan perlunya pendirian Lembaga Sentral Mahasiswa dari, oleh dan untuk
mahasiswa. Pada tanggal 20 Januari 1996, FKHJ dan BKSK ITB mendeklarasikan
berdirinya Keluarga Mahasiswa ITB berikut kelengkapannya yaitu Kongres dan
Kabinet KM ITB.
Kasus kematian Zaki Tiffany Lazuardian (FI’95) tanggal 8 Januari
1996 menyebabkan skorsing kepada Budi (Ketua HIMAFI) dan Ridjal (Ketua PPAM
1995). Skorsing ini ditindaklanjuti dengan pembelaan mahasiswa ITB di lapangan
basket. Diketahui bahwa Zaki meninggal akibat menderita paru-paru basah dan
tidak pernah melaporkan segala sesuatunya kepada Panitia PPAM. PTUN Jawa Barat
memenangkan mahasiswa ITB dan membatalkan skorsing. Namun karena tekanan yang
kuat, Budi dan Ridjal mengundurkan diri dari ITB.
Pada bulan April 1996, Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan, Ir.
Indradjati Sidi menggulirkan perlunya pendirian SMPT sebagai organisasi
kemahasiswaan terpusat. Atas kepentingan legalitas organisasi, maka mahasiswa
dan rektorat mengadakan Forum Balai Pertemuan Ilmiah (Forum BPI) diketuai oleh
Haru Suwandharu (BI’93), Ketua Nymphaea. Forum BPI tidak menghasilkan
kesepakatan apa-apa. Forum TVST diinisiasi juga oleh Pembantu Rektor
selanjutnya Ir. Isnuwardianto dan diketuai oleh Vijaya Vitriyasa (MS’94),
Kepala Gamais. Forum TVST dibayang-bayangi isu organisasi registrasi dan
non-registrasi karena lima himpunan disegel akibat menolak registrasi.
KM ITB dan Komite Mahasiswa Unpar mendirikan Forum Komunikasi
Mahasiswa Bandung pada tahun 1996. Kemudian bersama kampus-kampus Jakarta, KM
ITB juga mendirikan Forum Komunikasi Mahasiswa se-Jabotabek (FKMJ) yang
disingkat Forum Kota (Forkot). KM ITB, bersama FKMB, Forkot dan juga Forum
Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jabotabek (FKSMJ) mengadakan mimbar bebas di
sekretariat PDI, jalan Diponegoro yang berakhir dengan Kerusuhan 27 Juli 1996.
Saat itu juga organ-organ ini diberi nama Organisasi Tanpa Bentuk.
Krisis Moneter bulan Juli 1997 ditindaklanjuti dengan berdirinya
Satuan Tugas Reformasi oleh Syawaludin Lubis (TG’90), Meldy (MS’91), Denda
Alamsyah (GD’91), Anto Soedarto (GD’92), Khalid Zabidi (SR’93), Depi Restiadi
(TG’94), Widdy Widianto (PL’95), Gandhi (TK’95). Berdirinya Satgas KM ITB untuk
Reformasi ini juga dibarengi dengan berdirinya Tim Beasiswa KM ITB tahun 1998
untuk menangani beasiswa dari, oleh dan untuk mahasiswa. Aksi-aksi mahasiswa
mulai bergulir, terutama saat Peristiwa Trisakti, Pendudukan Gedung DPR/MPR,
dan Peristiwa Semanggi I. Satgas KM ITB bersama FKSMJ dan Komite Mahasiswa
Universitas Siliwangi mengadakan dialog nasional bersama Amien Rais,
Abdurrahman Wahid, Megawati dan Sri Sultan Hamengkubuwono X di Ciganjur yang
menghasilkan Deklarasi Ciganjur, 13 November 1998.
Pada tanggal 7-10 Juni 1998 diadakan Musyawarah Kerja KM ITB di
Ciwidey. Pada Muker 1998 ini Konsepsi Organisasi Kemahasiwaan serta Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ITB disahkan. Konsep Organisasi Kemahasiswaan
mengacu pada Konsep Pemerintahan Mahasiswa dan visi Masyarakat Madani yang
ditulis oleh Fandy Wijaya (GD’94)
Pada bulan Oktober 1998, Pemilihan Umum Raya Keluarga Mahasiswa
untuk pertama kalinya sejak KM ITB dideklarasikan kembali, menghasilkan Vijaya
Vitriyasa (MS’94) sebagai Presiden KM ITB periode 1998-1999, mengalahkan Khalid
Zabidi (SR’93), Ahmad Salahudin (TI’94) dan Heldy (FT’94). Selain itu terbentuk
Kongres yang diketuai Yan Ardiansyah (GD’94). Kabinet Vijay berkontribusi dalam
mendirikan unit Radio Kampus (RK), mengadakan Hearing Calon Presiden RI bulan
April 1999, dan juga berpartisipasi dalam penolakan RUU Penanggulangan Keadaan
Bahaya pada peristiwa Semanggi II, Oktober 1999. Karena FKHJ menganggap kinerja
Kabinet Vijay kurang memuaskan, maka pelaksanaan Pemilu Raya 1999 dipercepat.
Kabinet kedua dipimpin oleh R. Sigit Adi Prasetyo (IF’95)
mengalahkan Nurul Wajah Mujahid (KL’95), Zaid Perdana Nasution (TL’96), Arief
Wicaksono (TI’95), Iqbal Alfajri (DS’96), Dedi Apriadi (GL’97). Kabinet Sigit
berkontribusi dalam mengadakan Olimpiade Olahraga dan Seni Budaya I, penerbitan
buletin Soul of Campus, serta Public Lecture yang
menghadirkan Nurul Izzah sebagai pembicara. OSKM 2000 yang diketuai Alfari
Firdaus (TI’96) hanya dihadiri oleh 400 peserta pada hari pertama dan 900
peserta pada hari terakhir, hal ini terjadi akibat Rektor Prof. Lilik
Hendradjaja melarang mahasiswa baru angkatan 2000 untuk mengikuti OSKM.
Dekade 2000-an
Akibat kegagalan panitia pelaksana Pemilu KM ITB 2000 yang
diketuai Safari (TK’97), kandidat Presiden KM ITB yaitu Andri Dwi Setiawan
(PN’96), Muhammad Lutfi (TI’96), Muhammad Iqbal (GL’96), Zaid Perdana Nasution
(TL’96), Yogi (PN’96), Muhammad Ikhsan (GL’98) dan Dedi Apriadi (GL’97)
batal mengikuti Pemilu Raya. Masa Jabatan Kabinet Sigit diperpanjang sampai
bulan Maret 2001. Hal ini mengundang kontroversi selain karena melanggar
AD-ART, perpanjangan ini juga dilakukan oleh sidang darurat Kongres yang tidak
kuorum. Saat kontroversi ini belum selesai, Kabinet Sigit menggulirkan isu
Buloggate dan Bruneigate yang memunculkan isu penurunan Gus Dur sebagai
Presiden RI. Aksi tanggal 12 Januari 2001 ini mengubah dinamika kampus dari
mempertanyakan keputusan Kongres menjadi isu penggulingan Kabinet Sigit.
Pada tanggal 10 Maret 2001, Abdillah Prasetya (FI’98) Ketua HIMAFI
dan Krisna (GD’98) Ketua IMG mengadakan aksi pendudukan Sekretariat KM ITB.
FKHJ bersama beberapa unit seperti PSIK, Veritas dan G-10 menyatakan pembekuan
Kongres dan Kabinet, pembentukan Badan Pekerja Musyawarah Kerja (BP Muker) yang
diketuai Aan Yuhannis (FI’99). Muker KM ITB 2001 menghasilkan keputusan
perubahan basis organisasi KM ITB dari jurusan menjadi Himpunan, belum
berhaknya mahasiswa TPB untuk memilih, dan pembentukan BKSK sebagai sarana
aspirasi Unit Kegiatan. Sebagai informasi, BKSK bubar pada tahun 1997 akibat
program relokasi Unit ke Gedung Bengkok dan Sunken Court dan menjadikan
beberapa ruang Student Centre dijadikan lahan usaha oleh Birokrasi Kampus.
FKHJ membentuk panitia OSKM 2001 yang diketuai Dinar Maulana
(GD’98), Panitia Pelaksana Pemilu Legislatif untuk memilih Senator Himpunan,
Badan Pekerja Internal dan Eksternal untuk mengurus masalah advokasi serta
gerakan. Kongres 2001-2002 yang dipimpin Deddy Suryadi (PL’97) mengadakan
Pemilihan Umum Anggota MWA Wakil Mahasiswa sebagai konsekuensi perubahan status
ITB dari PTN menjadi PT-BHMN. Rian Ramadian Nugraha (IF’97) terpilih sebagai
Wakil Mahasiswa di MWA mengalahkan Armenda (SI’97) dan Zaid Perdana Nasution
(TL’96).
Pemilu Raya Oktober 2001 menghasilkan Akbar Hanif Dawam Abdullah
(PN’98) sebagai Presiden Kabinet mengalahkan Armenda (SI’97), Adiq Ahmadi
(MT’97), Dedi Apriadi (GL’97), Roy Baroes (GM’97), Edison Situmorang (EL’97),
dan Khairul Anshar (FI’98), dan Pemilu ini tercatat sebagai Pemilu dengan
kandidat terbanyak. Kabinet Dawam menjabat hanya selama 6 bulan dan menjalankan
proses transisi serta konsolidasi KM ITB. Selain itu, pada bulan Desember 2001,
BEM Bandung Raya dideklarasikan di Aula Barat ITB.
Pemilu Raya Maret 2002 menghasilkan pemenang Alga Indria (DS’98)
sebagai Presiden mengalahkan Abdi Robbi Sembada (SI’98), M. Hanif (TI’98), Dwi
Lesmana (PL’99), dan Andy Hartono (TK’98). Ketua Kongres saat ini adalah Teguh
Prasetya (FT’98) dan Anggota MWA Wakil Mahasiswa yang terpilih adalah Indra
Madyana (FT’98) mengalahkan Sandy Maruto (SI’98).
OSKM 2002 yang diketuai Ahmad Mukhlis Firdaus (KL’99) adalah OSKM
pertama yang dilegalkan oleh Rektorat karena ada perubahan mendasar antara lain
ditiadakannya acara Swasta, perubahan metode dari penindasan menjadi
pendisiplinan, dan pembukaan OSKM oleh Rektor. Kabinet Alga banyak mengadakan
acara-acara dalam kampus seperti Simfoni Warna-Warni, Ekspresi, Malam 1000
Lilin, Aksi Merah Putih, dan Olimpiade II. Aksi-aksi mahasiswa banyak yang
ditujukan untuk membela rakyat kecil seperti advokasi PKL Ganesha, PKL jalan
Mustofa, Penanggulangan Bencana Letusan Gunung Papandayan. KM ITB juga
mengadakan Kongres BEM Nasional tanggal 1-2 Februari 2003 untuk merumuskan
solusi bagi perbaikan bangsa. Tetapi Kongres ini dibayang-bayangi perpecahan
mahasiswa akibat tidak ikut sertanya KM ITB dalam aksi menuntut turunnya
Mega-Hamzah.
Aksi menuntut turunnya Mega-Hamzah sempat diikuti oleh Forum
Mahasiswa Peduli ITB yang mengikutsertakan diri pada BEM Bandung Raya.
Akibatnya kericuhan antara Kongres dan Kabinet sempat terjadi. Bahkan
penyikapan isu invasi AS ke Irak pada 10 Maret 2003 tidak dilakukan oleh
Kabinet KM ITB.
Pemilu Raya 2003 menghasilkan Ahmad Mustofa (TK’99) sebagai
Presiden mengalahkan Muhammad Syaifullah (SI’99), Hendro (TA’99), sedangkan Adi
Nugroho (FI’99) mengundurkan diri sebelum pemungutan suara berlangsung. Ketua
Kongres 2003-2004 adalah Indra Sembada (EL’2000), dan Anggota MWA Wakil
Mahasiswa adalah Fantri Azhari (MS’99). Berlangsungnya OSKM 2003 yang
bertemakan “Kreativitas Membangun Integrasi” diakhiri dengan insiden pembubaran
di acara penutupan. Hal ini diakibatkan dinyanyikannya lagu kampus dengan gaya
rock.
Kabinet Tove menggulirkan isu turunnya Mega-Hamzah, menolak RUU
Ketenagalistrikan tahun 2003, mengadakan ITB Fair 2004. Bergulirnya isu Pemilu
RI 2004 ditindaklanjuti dengan mendirikan Satuan Tugas KM ITB untuk Pemilu 2004
diketuai Otep Kurnia (MA’99). Satgas ini mengadakan Hearing Calon Presiden RI
bekerja sama dengan acara Kupas Tuntas Trans TV, mengadakan Civic Education di
Bandung, dan mengajak Partai Politik untuk menandatangani kontrak politik agar
para politisi tidak melakukan korupsi.
Pemilu Raya 2004 dimenangkan oleh Anas Hanafiah (EL’00)
mengalahkan Oscar Pariang Pakpahan (GM’00). Ketua Kongres 2004-2005 adalah
Danny Mukmin Muttaqin (PL’00). Pada masa ini, jabatan Anggota MWA Wakil
Mahasiswa dijabat secara rangkap oleh Presiden KM ITB. Kabinet Anas
menggulirkan isu kecurangan Pemilu Presiden 2004. Isu pembongkaran Student
Centre, dan pengusiran PKL ITB tidak berhasil dikelola dengan baik dan
malah menyebabkan insiden Pembakaran Bendera KM serta jas almamater oleh
beberapa anggota Unit Tiang Bendera saat Open House Unit 2004.
Peristiwa Pembakaran Jas Almamater ini menyebabkan inisiasi
Kongres, Kabinet dan FKHJ untuk mengadakan Forum Rembug Mahasiswa di Lapangan
Basket, 24 Agustus 2004. Forum ini menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan
perbaikan menyeluruh terhadap masalah seperti hubungan mahasiswa dan rektorat,
masalah advokasi, penyikapan isu keluar, serta masalah mendasar organisasi
kemahasiswaan, koordinasi, komunikasi, serta kemengakaran elit mahasiswa. Namun
karena terjadi insiden berbau SARA, tidak banyak yang mengingat hasil
kesepakatan Forum ini.
Kabinet Anas mengadakan banyak acara seperti Temu BEM Se-Indonesia
yang diselenggarakan Seskoad, Deklarasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema
Nusa) 20 Oktober 2004, pendirian Student Association for Corruption Watch, aksi
peduli bencana Tsunami Aceh dan Nias, serta Olimpiade ke-III. Acara Dialog
Publik yang dihadiri oleh Anwar Ibrahim, mantan Wakil PM Malaysia dihadiri
banyak orang termasuk acara tersukses yang pernah dibuat Kabinet Anas.
Pemilu Raya 2005 dimenangkan oleh Syaiful Anam (EL’01) mengalahkan
Wiyono K. Saputro (TA’01). Kabinet Anam mulai mengalami isu legalitas
kaderisasi, kasus skorsing Timbul Harahap (FI’02) dan Ridwan H. K. (FI’02),
Ketua Dewan dan Ketua PPAM HIMAFI) akibat kasus PPAM HIMAFI 2004, kasus
pembekuan IMG, serta perubahan nama OSKM 2005 menjadi Pengenalan Satuan
Akademik dan Kemahasiswaan (PSAK). OSKM 2005 yang diketuai Fitrah Dinata
(SI’02) adalah OSKM pertama yang dibayang-bayangi isu legalitas kaderisasi.
Lokakarya Kemahasiswaan yang tidak selesai juga menjadi isu yang
membayang-bayangi kelanjutan organisasi kemahasiswaan ITB. Bahkan saat ART ITB
disahkan per 1 Januari 2006 dengan perubahan jumlah 5 Fakultas menjadi 5
Fakultas dan 5 Sekolah, belum ada kesamaan sikap mahasiswa ITB. Hanya ada
pernyataan sikap penolakan implementasi ART ITB yang merugikan kemahasiswaan
ITB. Selain masalah kaderisasi dan pola hubungan, Kabinet Anam banyak
mengadakan kegiatan seperti aksi-aksi penolakan kenaikan harga BBM, Dialog
Publik menyikapi 1 Tahun SBY JK, Pekan Baca Tulis, dan ITB Fair 2006.
Pemilu Raya 2006 diwarnai insiden kecil akibat pengulangan proses
Pemilu. Pemilu kali ini diikuti oleh 5 kandidat yaitu Dwi Arianto Nugroho
(TK’02), Andi Mulyadi Adiwiarta (GM’02), Hendrajaya (IF’02), Syahfitri Anita
(KI’02) dan Muhammad Lutfi (FT’03). Kontroversi Pemilu ini bertambah akibat
diikutkannya TPB 2005 sebagai hasil amandemen AD ART KM ITB 2006. Pemilu ini
dimenangkan oleh Dwi Arianto Nugroho.
OSKM 2006 yang diketuai Zamzam Badruzaman (FI’03) adalah OSKM
ilegal dan hanya diikuti oleh 136 mahasiswa angkatan 2006. Selain dibayangi
ancaman DO kepada Presiden dan Ketua OSKM, angkatan 2006 yang mengikuti OSKM
juga terancam DO. Pada hari kedua OSKM tanggal 21 Agustus 2006, Keluarga
Mahasiswa ITB mengadakan aksi demonstrasi menyikapi penutupan kampus dan
ancaman DO. Penutupan OSKM juga yang diakhiri aksi masuk ke dalam kampus juga
diikuti oleh ratusan mahasiswa ITB.
Tidak harmonisnya hubungan mahasiswa dan rektorat mewarnai Kabinet
Dwi. Bagaimanapun juga Kabinet Dwi banyak melakukan kegiatan yang diikuti
banyak mahasiswa seperti Mudik Murah, Dialog Publik oleh Prof. BJ Habibie,
Sekolah Anti Korupsi, dan Olimpiade ke-IV. Kongres 2006-2007 yang diketuai
Helmi (MT’03) mengadakan Sidang Istimewa untuk mengubah AD ART dengan keputusan
penting seperti perubahan status anggota muda kepada TPB sehingga angkatan 2006
tidak dapat memilih di Pemilu dan pembentukan Forum Rumpun Unit untuk
mengirimkan Senator Perwakilan Unit. Kongres menolak Laporan Pertanggungjawaban
Kabinet 2006-2007.
Pemilu Raya 2007 dimenangkan oleh Zulkaida Akbar (FI’03)
mengalahkan Army Alghifari (MS’04). Kasus yang berkembang pada masa Kabinet
Izul adalah kasus parkir, skorsing Presiden KMSR, Ketua Kaderisasi 2006 dan
Ketua Angkatan SR’06, dan Draft SK Senat Akademik yang menyatakan bahwa organisasi
kemahasiswaan ITB bertanggung jawab kepada ITB. OSKM 2007 yang diketuai Agung
Thaufika (MA’04) diubah namanya menjadi PMB 2007 dan akhirnya dilegalkan dengan
banyak perubahan konsep dan metode, dengan pertimbangan agar angkatan 2007
dapat berinteraksi dengan seniornya.
Dialog Intelektual Mahasiswa tiap bulan, Pagelaran Seni Budaya
2007, Pekan Baca Tulis dan ITB Expo 2008 adalah sekian banyak program kerja
yang dilakukan Kabinet Izul. Terkait isu Krisis Ekonomi 2008, diadakan Seminar
Ekonomi untuk menggagas Sistem Ekonomi Alternatif. Perubahan mendasar dalam
metode gerakan dilakukan pada periode ini di mana lebih banyak dialog dan
seminar daripada mengadakan aksi demonstrasi.
Pemilu Raya 2008 dimenangkan oleh Shana Fatina Sukarsono (TI’04)
mengalahkan Gilang Widyawisaksana (GD’04) dan Fikri (MG’05). Pemilu ini memakai
sistem pasangan calon Presiden dan calon anggota MWA Wakil Mahasiswa. Wahyu
Bagus Yuliantok (PL’04) menjadi Anggota MWA mengalahkan Bobby Rahman (PL’04)
dan Ruly (GL’05). Kabinet Shana memulai program kerjanya dengan menyatakan
sikap menolak kenaikan harga BBM, mendeklarasikan Rumah Belajar, audiensi
dengan Menko Kesra dan Mensesneg terkait kebijakan menaikkan harga BBM, serta
KonsolidasI BEM Seluruh Indonesia. Ketua PMB terpilih adalah Aulia Ibrahim Yeru
(SR’05) di mana nama Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) diubah menjadi Inisiasi
Keluarga Mahasiswa (INKM).
No comments:
Post a Comment